Segalatindakannya berasal dari dan untuk Tuhan. Dalam bahasa agama disebut tawakkal. Imam Ibrahim bin Adham mendapatkan pelajaran berharga dari hamba sahaya itu. Pengetahuannya tentang menjadi hamba bertambah, bahwa seorang hamba harus menerima apa pun yang ditetapkan tuannya. Tasawufberasal dari kata suffah atau suffah al-masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal. 4. Tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Ibrahimbin Adham berasal dari keluarga ternama dan penguasa kawasan Balkh. Akan tetapi, ia secara tiba-tiba beralih orientasi ke dunia zuhud. Setelah bertobat, ia berangkat menuju Mekkah dan berjumpa dengan para pembesar sufi di kota ini, seperti Sufyan al-Tsauri dan Fudahil 'Iyadh. Namalengkapnya yaitu Ibrahim bin Adham bin Mansur (W.161 H) atau dikenal dengan Abu Ishak al-Balkhi yang lahir di Makkah. Ia menjadi seorang Ulama' besar berkat ibunya yang selalu memintakan doa kepada banyak orang untuk dirinya supaya menjadi orang shaleh yang bertaubat dan petuah-petuahnya mengispirasi banyak orang. QamarKailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah. A Latar Belakang Masalah Kaum sufi telah merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah. Yakni menuju kesuatu tahap ma'rifah (mengenal Allah dengan hati). Jalan ini diawali dengan riyadhah ruhaniyah yang secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqam (jamak dari maqamat) dan hal (jamak dari hal) yang berakhir dengan ma'rifah kepada Allah. rG8vgHT. Ibrahim Ibnu Adham bin Mansur Ibnu Yazid Ibnu Jabir al-Ijli, dilahirkan di Khurasan tahun 112 H/730 M dan meninggal tahun 161 H/778 M di suatu benteng di daerah Romawi. Ia salah seorang tokoh sufi besar yang meninggalkan kehidupan duniawi, dan mengembara tanpa memiliki tempat tinggal yang tetap..Semula, Ibrahim bin Adham adalah seorang raja Balkh yang sangat luas daerah kekuasaannya. Ke manapun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buah tongkat kebesaran emas diusung di depan dan di belakangnya. Pada suatu malam ketika ia tertidur di kamar istananya, langit-langit kamar seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di atas atap. Segera ia naik ke atas dan menemukan seseorang. “Apa yang kau cari di sini?” bentak Ibrahim bin Adham kepada orang itu. “Aku mencari ontaku yang hilang” jawab orang itu. “Apa anda tidak gila mencari onta dalam istanaku?” seru Ibrahim marah. “Ya seperti anda juga mencari Ttuhan di dalam kemewahan istana” jawab orang itu sambil melompat ke bawah dan kemudian tersebut amat membekas dalam diri Ibrahim dan merupakan titik awal dari perubahan pendirian dan kehidupannya. Untuk mencari ketenangan dan jawaban yang memuaskan hati dari peristiwa aneh itu, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan istana. Dengan membawa piring, gelas, selimut dan bantal untuk dirinya sendiri. Ia meninggalkan istana yang gemerlap. Beberapa mil setelah meninggalkan istana, ia melihat seorang laki-laki menimba air dengan susah payah hanya menggunakan telapak tangan. Melihat orang itu, terkesan dalam hatinya, lalu ia segera membuang cangkir yang ada di tangannya. Di tengah-tengah perjalanan ia melihat laki-laki tertidur dengan menggunakan dua tangannya sebagai bantal. Melihat orang itu, segera ia membuang bantalnya. Didalam perjalanan berikutnya, ia melihat seorang laki-laki tanpa selimut sedikitpun, maka ia membuang selimut yang ada padanya. Dengan demikian, ia pergi tanpa membawa persiapan harta sedikitpun. Ia berkelana dari satu negeri ke negeri yang lain, mencari ilmu dan meraih hikmah untuk suatu tujuan utama yaitu menemukan kebenaran yang sejati dalam rangka menuju Tuhan. Ibrahim bin Adham pernah belajar kepada Imam Abu Hanifah dan sejumlah tokoh sufi di masanya, antara lain Abu Yazid al-Busthami. Selain itu, ia hidup dan pernah bertemu dengan banyak tokoh sufi di zamannya seperti Fudhail bin Iyadh, dan Sofyan ats-Tsauri. Perjalanan dan kajian-kajian tasawufnya ia lakukan dengan intens sampai ia bertemu dengan nabi Allah, Khidir AS..Tasawuf Ibrahim bin Adham dimulai dari berbagai pertanyaan yang bersumber dari al-Quran sendiri, sebagaimana yang tampak dalam surat al-Mukminun ayat 115 “apakah engkau kira bahwa kamu, Kami jadikan percuma ? dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini berlanjut dengan pertanyaan lain yang mendasar tentang makna dan hakikat hidup dan kehidupan. Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu ditemukannya dalam perjalanan panjang dan mujahadahnya yang intensif, hingga dengan tenang ia meninggalkan jabatan dan istana yang gemerlap sampai beroleh ridha yang Ibrahim bin Adam, tasawuf adalah keindahan dan kebesaran menuju kepada Kebebasan Sejati. Karena itu tasawuf bukan suatu sistem yang keras dan kaku, bukan menekan diri dan perasaan, bukan membawa hidup susah dan bukan meninggalkan fitrah. Akan tetapi, tasawuf adalah membawa manusia kepada pilihan-pilihan yang benar, hidup zuhud, berlaku adil dan penuh keutamaan dalam kehidupan yang menanjak menuju kepada kesucian diri. Dengan pilihan itulah kita meninggalkan dunia hingga kita menjadi bin Adam tidak meninggalkan suatu karya. Meskipun demikian, ia tetap berpesan agar jangan berharap untuk menemukan hikmah tanpa hidup dalam taqwa, karena hikmah mamancar dari kebersihan dan ketaqwaan. JAKARTA - Selain ada beragam mazhab fikih dan pemikiran, di tengah masyarakat Islam juga muncul praktik tasawuf. Kata tasawuf berasal dari sejumlah kata. Sebut saja, misalnya, kata saff yang berarti barisan dalam shalat berjamaah. Ini merujuk pada seorang sufi atau pelaku tasawuf yang selalu memilih saf terdepan dalam shalat juga mempunyai iman kuat dan hati bersih. Kata lainnya adalah suffah, bermakna pelana yang digunakan para sahabat Nabi Muhammad yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping Masjid Nabawi, Madinah. Arti lain dari suffah ini adalah kamar yang disediakan para sahabat dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni suffah disebut sebagai ahl as-suffah. Mereka mempunyai sifat teguh pendirian, takwa, zuhud, dan tekun beribadah. Peneliti tasawuf Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani melalui karyanya, Madkhal ila at-Tasawuf al-Islami Pengantar ke Tasawuf Islami, mengungkapkan mengenai karakteristik menilai, tasawuf mengandung lima ciri umum, yaitu memiliki nilai-nilai moral, pemenuhan fana dalam realitas mutlak, pengetahuan intuitif langsung, timbulnya rasa bahagia karena tercapainya tingkatan-tingkatan spiritual, dan penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat. Ensiklopedi Islam menjelaskan, benih-benih tasawuf sudah ada pada kehidupan Nabi Muhammad lewat perilaku dan peristiwa dalam hidup beliau. Sebelum diangkat menjadi rasul, selama berhari-hari beliau berkhalwat di Gua Hira, terutama saat Ramadhan, melakukan zikir dan bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah diri Muhammad di Gua Hira ini menjadi acuan utama para sufi melakukan khalwat. Puncak kedekatan Rasul dengan Allah tercapai ketika melakukan perjalanan Isra dan Mi’raj. Ibadah beliau juga merupakan cikal bakal tasawuf. Dia adalah orang yang paling tekun dalam menjalani ibadah. Akhlak beliau pun menjadi acuan para lain yang menjadi rujukan para sufi adalah kehidupan empat sahabat Rasulullah, khususnya yang berhubungan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan, dan budi pekerti mereka. Apalagi para sahabat ini adalah murid langsung Rasulullah, yang meneladani dalam perilaku praktik sufi ini, juga ada proses bergulir yang juga merupakan respons atas kondisi sosial yang ada. Saat Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam, banyak kalangan menilai sikap bermewah-mewahan telah meracuni umat Islam kala itu. Kemudian, ada yang meresponsnya dengan mempraktikkan hidup saat itu, hidup zuhud menyebar luas. Tokoh tabiin pertama yang menjalani hidup semacam itu adalah Sa’id bin Musayyab. Ia banyak memperoleh pendidika dari mertuanya, Abu Hurairah. Di Kota Basra, Irak, muncul nama Hasan al-Basri. Ia dikenal dengan kezuhudannya. Tokoh lainnya di Basra adalah Malik bin akhir abad ke-2 Hijriah, terjadi peralihan dari fenomena zuhud ke tasawuf mulai tampak. Pada masa ini juga, muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Salah satu tokoh pada masa itu yang condong pada kajian tasawuf adalah Ibrahim bin Adham di Khurasan. Sosok lainnya, Fudail bin Iyad, asal Khurasan yang meninggal di kemudian hari, juga ada Rabiah al-Adawiyah. Pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, kajian-kajian soal tasawuf bermunculan. Ada dua kecenderungan yang lahir dari kajian tasawuf itu. Pertama, cenderung pada kajian bersifat akhlak yang berdasarkan Alquran dan kecenderungan lainnya adalah kajian tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Pada abad ke-5 Hijriah, kajian tasawuf akhlak lebih dominan. Sufi penting yang muncul pada masa itu, di antaranya adalah Abu Qasim Abdul Karim abad ke-5 Hijriah, puncak perkembangan tasawuf pada abad selanjutnya, terutama pada abad ke-6 dan ke-7, berfokus pada Ibnu Arabi yang mengusung konsep Wahdatul Wujud. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini — Bagi para ahli tasawuf Abad Pertengahan hingga kontemporer, Syekh Ibrahim bin Adham bagaikan mata air. Dia termasuk yang paling awal mengamal kan dan mengajarkan laku sufi di tengah masyarakat. Di samping itu, konsistensinya dalam zuhud menjadi ciri khas tasawuf yang datang sesudahnya. Syekh Ibrahim bin Adham 718-782 merupakan seorang sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah Islam. Tokoh yang berdarah Arab itu lahir di Khurasan, tepatnya Kota Balkh, kini bagian dari Afghanistan. Keluarganya menetap di wilayah tersebut setelah bermigrasi dari Kufah, Irak. Ibrahim bin Adham kerap dikisahkan sebagai seorang raja atau pangeran yang memilih zuhud. Walaupun nyaris tidak ada catatan sejarah yang pasti tentang hal itu, dapatlah dikatakan bahwa sosok tersebut memiliki kehidupan yang mapan di Balkh. Setelah bertobat, ia pun menjadi seorang pengembara untuk menjauhi hiruk-pikuk duniawi. N Hanif dalam bukunya, Biographical Encyclopae dia of Sufis of South Asia1999, mengatakan, ada beragam riwayat tentang pertaubatan sang mursyid. Salah satunya, sebagaimana dituturkan Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya, menampilkan perjumpaan antara Ibrahim dan Nabi Khidir. Dalam narasi tersebut, sosok berjulukan Abu Ishaq itu diceritakan sebagai seorang raja Khurasan. Narasi lainnya dinukil dari Abu Bakr al-Kalabadhi dalam Kitab at-Ta'aruf. Pada suatu hari, Ibrahim mengajak prajuritnya untuk berburu di hutan. Aktivitas ini dilakukannya untuk senang-senang belaka, melepas penat dari rutinitas di istana. Tanpa disadari, kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya. Ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Tanpa disadarinya, ia telah terpisah dari para pengawalnya. Seandainya kuda yang ditungganginya tidak jatuh tergelincir, barangkali Ibrahim akan tersasar lebih jauh lagi. Saat sedang berusaha bangkit, ia terkejut karena melihat seekor rusa tiba-tiba melintas di depannya. Ia pun dengan lekas menghela kudanya sembari mengarahkan tombak ke hewan tersebut. Sebelum melempar benda runcing itu, ia mendengar suara yang tertuju padanya, “Wahai Ibrahim! Bukan untuk itu kamu diciptakan. Bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Awalnya, penguasa Balkh itu enggan mengacuhkannya. Pikirnya,mungkin suara itu hanya halusinasi. Begitu hendak meraih tombaknya, tiba-tiba suara yang sama terdengar lagi. “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Ia pun menengok ke kiri dan kanan, tetapi tak seorang pun dilihatnya. “Aku berlindung kepada Allah dari godaan iblis,” ucapnya. Baca juga Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas Ia pun memacu lagi kudanya. Akan tetapi, teguran yang sama lagi-lagi terdengar. Ibrahim pun menghentikan langkahnya, Apakah ini sebuah peringatan dari-Mu, Tuhan? katanya bergumam. Putra bangsawan ini pun merasa, petunjuk Illahi telah menerangi hatinya. “Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari-hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada-Nya.” Sejak saat itu, lelaki dari Bani Bakar bin Wafil ini menekuni jalan salik. Segala kemewahan hidup ditinggalkannya. – Ibrahim bin Adham adalah seorang tokoh sufi ternama, tergolong dalam kelompok tabi’in, meninggal dinegeri Syam pada tahun 161 H/778 M rahimahullah. dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi. DONASI SEKARANG Beliau adalah seorang waliyullah, berasal dari keluarga kerajaan wilayah khurasan. Berkelana ke pedalaman arab kemudian ke Mekkah al-Mukarramah, disana ia bertemu dengan Sufyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh kemudian bersahabat dengan mereka. Ibrahim bin Adham mengais rezeki dengan bekerja sebagai pengetam atau penuai, berkebun dan lainnya. Abu hanifah, tokoh ulama mujtahid terkenal adalah juga merupakan salah seorang sahabat Ibrahim bin Adham. Karomah Ibrahim bin Adham Berkata Imam Yafi’i rahimahullah Imam al-Qusyairi meriwayatkan dengan sanadnya, beliau bercerita pernah suatu ketika kami bersama sama dengan Ibrahim bin Adham berada di tepi laut. Kemudian kami berhenti di semak belukar yang banyak kayu-kayu kering, lalu kami berkata kepada Ibrahim “bagaimana bila malam ini kita berdiam di sini dan membakar beberapa kayu untuk perapian ?” Ibrahim bin Adham pun menjawab “boleh, lakukanlah!” Maka kami pun menetap di situ dan membakar beberapa kayu. Saat itu kami hanya membawa bekal beberapa potong roti. Disaat kami sedang menyantap roti, salah seorang dari kami berkata “alangkah bagusnya bara api ini bila ada daging yang bisa kita bakar dengannya untuk kita makan“, kemudian Ibrahim bin Adham berkata “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kuasa atas memberi daging tersebut kepada kalian”. Sesaat setelahnya, tiba-tiba datanglah seekor singa membawa rusa jantan dimulutnya, singa tersebut lalu mendekati kami dan meletakkan rusa yang sudah lunglai lehernya itu dihadapan kami. Kemudian Ibrahim bin Adham berdiri dan berkata “sembelihlah rusa itu!, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi kalian makanan” Maka kami pun langsung menyembelihnya dan memanggang dagingnya, sedangkan si singa masih tetap diam disitu sembari melihat kearah kami. Muhammad bin Mubarak as-Shuwari berkata suatu hari aku sedang berada di jalan baitul maqdis bersama dengan Ibrahim bin Adham, ketika sampai di sebatang pohon delima kami memutuskan beristirahat di bawahnya, lantas kami menunaikan shalat sunnat dhuha disana. Kemudian sesaat setelah selesai shalat, aku mendengar suara yang keluar dari pohon tersebut, ia berkata “sungguh adalah suatu kemuliaan bagi kami jika saudara mencicipi apa yang ada pada kami”. Lalu Ibrahim bin Adham pun berkata kepadaku “wahai Muhammad, marilah kita penuhi permintaannya !”, kemudian Ibrahim mengambil dua buah delima dari pohon itu dan memberikan kepadaku salah satunya seraya berkata “wahai Muhammad, makanlah!”. Muhammad bin Mubarak melanjutkan ceritanya “beberapa hari kemudian aku kembali melewati pohon tersebut, alangkah terkejutnya aku ketika kulihat pohon itu tumbuh besar dan subur dengan begitu banyak buah yang dihasilkannya. Penduduk di daerah tersebut menamakan pohon itu dengan Syajaratul-abidin yang berarti pohon orang-orang ahli ibadah” Beberapa Kalam Hikmahnya Pokok segala ibadah adalah tafakkur dan diam, terkecuali diam dari berzikir kepada shaleh yang paling berat timbangannya kelak di yaumil mizan adalah amalan yang paling berat dirasa oleh yang paling dahsyat adalah jihad melawan hawa nafsu, barangsiapa yang mampu menahan hawa nafsunya maka ia sungguh telah beristirahat daripada dunia beserta balanya, dan adalah ia dilindungi lagi sejahtera daripada penyakit melakukan kebaikan yang hanya sesuai dengan kesukaannya, dan menjauh dari keburukan yang hanya ia benci saja, maka amal kebaikan tersebut tidak berpahala baginya dan tidak terselamatkan ia dari dosa keburukan yang ia tinggalkan ada tiga macam zuhud fardhu, zuhud salamah dan zuhud fadhal. Maka zuhud fardhu itu yakni zuhud pada yang haram, zuhud salamah adalah zuhud pada yang syubhat/samar-samar, dan zuhud fadhal adalah zuhud pada yang ada yang lebih dahsyat lagi berat terhadap iblis melainkan orang alim lagi halim/sabar, yang jika bicara, ia berbicara dengan ilmu dan jika diam maka ia diam dengan sabar. Hingga berkata iblis mengenainya “sungguh diamnya itu lebih membuat aku tertekan ketimbang bicaranya”.Menyedikitkankan rakus dan loba dapat mewarisi kejujuran dan kewara’an, sedangkan memperbanyak keduanya dapat mewarisi dukacita dan hati kalian dengan rasa takut terhadap Allah, sibukkan badan kalian dengan ketekunan pada menta’ati-Nya, wajah kalian dengan rasa malu kepada-Nya dan sibukkan lidah kalian dengan berzikir kepada-Nya. Dan tundukkanlah pandangan kalian daripada melihat segala yang diharamkan engkau dapat mengekalkan pandanganmu kepada cermin taubat, niscaya akan nyata bagimu aib kejelekan maksiat. Demikian sepintas lalu kisah mengenai Al-Arifbillah Syeikh Ibrahim bin Adham, karomah yang dimilikinya dan beberapa kalam hikmah yang muncul dari lisannya. Semoga dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi kita ummat manusia. Wallahua’lambisshawab ! Author Recent Posts Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh Banyak kisah yang menceritakan sosok ulama sekaligus ahli sufi, Ibrahim bin Adham. Sufi satu ini berasal dari Balkh yang sekarang lebih dikenal dengan Afghanistan. Sebenarnya Ibrahim adalah salah seorang putra mahkota kerajaan. Ia meninggalkan segalah gerlap duniawi menuju perjalanan ilahi. tamuIbrahim bin Adham diceritakan mengenai kebiasaannya yang suka berburu. Kebiasaan ini diajarkan oleh ayahnya yang juga seorang raja di Khurasan. Ketika hendak menuntaskan perburuannya, ia mendengar suara gaib yang berbunyi, “Bukan untuk hal ini kau diciptakan, bukan hal ini engkau wajib lakukan”.Suara tersebut membuat Ibrahim bin Adham menghentikan perburuannya, ia lihat sekelilngnya tidak ada orang sama sekali. Hanya ada anjing yang memang dibawa dalam perburuan tersebut. Peristiwa ini konon menjadi cikal bakal pertaubatan seorang pangeran dari Khurasan lain juga dikisahkan oleh Syaikh Muhammad Amin al Kurdi dalam karyanya Tanwirul Qulub. Kisah Ibrahim bin Adham diceritakan dalam bab Tasawuf yang membahas tentang persoalan kasrotul kalam banyak bicara.Suatu hari sekelompok orang bertamu kepada Ibrahim bin Adham. Ia menyambut tamu-tamu tersebut. Kemudian diketahuinya bahwa tamu-tamu yang datang ini adalah gerombolan orang-orang yang Ibrahim bin Adham kepada tamu-tamunya, “Wasiatilah aku dengan wasiat yang dapat menyababkanku takut kepada Allah seperti takutnya kalian kepada-Nya.” Ibrahim meminta tamu-tamunya untuk memberikan nasihat para tamunya, “Kami akan memberikan wasiat berupa tujuh perkara.” Para tamu itu kemudian memberikan tujuh perkara sebagai wasiat yang diminta oleh Ibrahim bin Adham kepada saja tujuh perkara yang diwasiatkan para tamu untuk Ibrahim bin Adham?Pertama, para tamu itu mewasiatkan,من كثر كلامه فلاتطمع في يقظة قلبه“Siapa yang banyak bicaranya, maka jangan harap akan terjaga hatinya. Dalam keterangan sebelumnya, mushonif menyertakan sebuah hadist yang berbunyi, “Jangan banyak berbicara selain menyebut nama Allah, maka sesungguhnya banyak bicara selain menyebut nama Allah menyebabkan kerasnya hati, dan sesungguhnya manusia paling jauh dari Allah adalah mereka yang keras hatinya” HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah waghairihima.Wasiat kedua,من كثر كلامه فلاتطمع في ان تصل اليه الحكمة“Siapa yang banyak bicaranya, maka jangan harap mendapatkan hikmah.”Hati yang keras akan menyebabkan segalah hikmah kesulitan masuk ke dalam dirinya, karena hati sudah tidak bisa mendeteksi mana yang hikmah dan mana yang كثر اختلاطه بالناس فلاتطمع في نواله حلاوة العبادة“Siapa yang kebanyakan bergaul dengan manusia, maka jangan harap memperoleh manisnya ibadah.”Maksud kata bergaul di sini bukan berarti kita dianjurkan untuk menjadi orang yang individualis dan tidak melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Tetapi nasihat yang dimaksud agar kita tidak berhubungan dengan manusia hingga kita melupakan ibadah dan mengurus duniawi saja. Dalam berinteraksi, juga dibutuhkan batasan-batasan dan porsi yang افرط في حب الدنيا خيف عليه سوء الخاتمة والعياذ بالله,“Siapa yang meninggalkan kecintaan pada dunia, maka ditakutkan ia akan meninggal dengan suul khotimah. Semoga kita mendapatkan perlindungan Allah.”Kelima,من كان جاهلا فلاترج فيه حياة القلب ,“Siapa yang bodoh maka jangan harap hatinya hidup.”Bodoh dalam arti ketidaktahuannya karena memang tidak adanya ilmu. Ilmu adalah cahaya, sehingga orang yang berilmu akan menyinari keenam adalah,من اختار صحبة الظلم فلا ترج فيه استقامة الدين“Siapa yang memilih bersahabat dengan orang yang zalim, maka jangan harap mendapatkan akan keistiqomaan dalam beragama.”Wasiat ketujuh atau terakhir adalah,من طلب رضاالناس فقلما ينال رضاالله تعالى عنه“Orang yang hanya mencari ridha manusia maka tidak akan sedikitpun ia memperoleh ridha Allah”Mengapa demikian? Karena seluruh perbuatan yang kita lakukan hendaknya ditujukan kepada Allah, bukan kepada manusia. Jika kita hanya mengharap ridha manusia setiap melakukan perbuatan baik, maka kita akan tergolong dalam perbuatan riya’.Itu lah tujuh wasiat yang diberikan oleh para tamu kepada Ibrahim bin Adham. Nasihat-nasihat tersebut juga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua akan bahayanya kasrotul kalam banyak omong, kasrotul ikhtilatho bin nass sering nongkrong, hubbud dunya cinta dunia, tidak berilmu, dan melakukan sesuatu atas dasar ridhonnas bukan kita selalu dapat meneladani setiap pelajaran tersebut. ANWallahu a’lam.

ibrahim bin adham adalah tokoh tasawuf yang berasal dari